Welcome To My Blog

Minggu, 06 Maret 2016

Kisah Sahabat Nabi: Abbas bin Abdul Muthalib

Ia adalah paman Rasulullah SAW dan salah seorang yang paling akrab di hatinya dan yang paling dicintainya. Oleh sebab itu, beliau senantiasa berkata, "Abbas adalah saudara kandung ayahku. Barangsiapa yang menyakiti Abbas sama dengan menyakitiku."

Pada zaman Jahiliyah, ia mengurus kemakmuran Masjidil Haram dan melayani minuman para jamaah haji. Seperti halnya ia akrab di hati Rasulullah, Rasulullah pun dekat sekali di hatinya. Ia pernah menjadi pembantu dan penasihat utamanya dalam Baiat Aqabah menghadapi kaum Anshar dari Madinah.

Abbas adalah saudara bungsu ayah Nabi SAW, Abdullah bin Abdul Muthalib. Menurut sejarah, ia dilahirkan tiga tahun sebelum kedatangan Pasukan Gajah yang hendak menghancurkan Baitullah di Makkah. Ibunya, Natilah binti Khabbab bin Kulaib, adalah seorang wanita Arab pertama yang mengenakan kelambu sutra pada Baitullah.

Pada waktu Abbas masih anak-anak, ia pernah hilang. Sang ibu lalu bernazar, kalau putranya itu ditemukan, ia akan mengenakan kelambu sutra pada Baitullah. Tak lama kemudian, Abbas ditemukan, maka ia pun menepati nazarnya itu.

Abbas kemudian menikah dengan Lubabah binti Harits, juga dikenal dengan sebutan Ummu Fadhl, yang dalam sejarah Islam menjadi wanita kedua yang masuk Islam. Lubabah masuk Islam pada hari yang sama dengan sahabatnya, Khadijah binti Khuwailid, yang tidak lain adalah istri Muhammad SAW. Abbas dan Lubabah adalah orang tua dari Al-Fadhl, Abdullah, Ubaidillah dan Qasim bin Abbas.

Pada tahun-tahun awal perjuangan Nabi SAW menyampaikan dakwah Islam, Abbas selalu melindungi Rasulullah dari orang-orang Quraisy yang hendak mencelakakan beliau. Walaupun pada saat itu, ia sendiri belum masuk Islam.

Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang Islamnya Abbas. Ada yang mengatakan, sesudah penaklukkan Khaibar. Ada yang mengatakan, lama sebelum Perang Badar.

Ketika Rasulullah SAW berhijrah ke Yatsrib, Abbas tetap tinggal di Makkah, mendengarkan berita Rasulullah dan kaum Muhajirin, dan mengirimkan berita-berita kaum Quraisy, hingga berkecamuknya Perang Badar.

Abbas, biasa juga dipanggil Abu Fadhl, pergi berhijrah ke Madinah bersama Naufal ibnul Harits. Ahli sejarah berbeda pendapat tentang tanggal hijrahnya, namun mereka sependapat bahwa Rasulullah telah memberikan sebidang tanah kepadanya, berdekatan dengan tempat kediamannya.

Suatu hari, Abbas datang menghadap Rasulullah dan memohon dengan penuh harap, "Ya Rasulullah, apakah engkau tidak suka mengangkat aku menjadi pejabat pemerintahan?"

Berdasarkan pengalaman, ia seorang yang berpikiran cerdik, berpengetahuan luas, dan mengetahui liku-liku jiwa orang. Namun Nabi SAW tidak ingin mengangkat pamannya menjadi kepala pemerintahan. Beliau tidak ingin pamannya dibebani tugas-tugas pemerintahan. "Wahai paman Nabi, menyelamatkan sebuah jiwa lebih baik daripada menghitung-hitung jabatan pemerintahan," kata Rasulullah.

Ternyata Abbas menerima dengan senang hati pendapat Rasulullah, tetapi malah Ali bin Abi Thalib yang kurang puas. Ia lalu berkata kepada Abbas, "Kalau kau ditolak menjadi pejabat pemerintahan, mintalah diangkat menjadi pejabat pemungut sedekah!"

Sekali lagi Abbas menghadap Rasulullah untuk meminta seperti yang dianjurkan Ali itu. Rasulullah kemudian bersabda kepadanya, "Wahai pamanku, tak mungkin aku mengangkatmu mengurusi cucian (kotoran) dosa orang."

Rasulullah adalah orang yang paling akrab dan paling kasih kepadanya, tidak mau mengangkatnya menjadi pejabat pemerintahan atau pengurus sedekah. Bahkan ia tidak diberi kesempatan dan harapan untuk mengurusi soal-soal yang bersifat duniawi, tetapi menekannya supaya lebih menekuni soal-soal ukhrawi.

Ketika Rasulullah SAW wafat, Abbas adalah orang yang paling merasa kesepian atas kepergiannya itu. Abbas hidup terhormat di bawah pemerintahan Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq maupun pada masa kepemimpinan Umar bin Khathab.

Pada suatu hari dalam pemerintahan Khalifah Umar, terjadi paceklik hebat dan kemarau ganas. Orang-orang berdatangan kepada Khalifah untuk mengadukan kesulitan dan kelaparan yang melanda daerahnya masing-masing.

Umar menganjurkan kepada Muslimin yang berkemampuan supaya mengulurkan tangan membantu saudara-saudaranya yang ditimpa kekurangan dan kelaparan. Kepada para penguasa di daerah diperintahkan supaya mengirimkan kelebihan daerahnya ke pusat.

Ka'ab menemui Khalifah Umar seraya berkata, "Wahai Amirul Mukminin, biasanya Bani Israel kalau menghadapi bencana semacam ini, mereka meminta hujan dengan kelompok para nabi mereka."

Umar berkata, "Ini dia paman Rasulullah dan saudara kandung ayahnya. Lagi pula, ia pimpinan Bani Hasyim."

Khalifah Umar pergi kepada Abbas dan menceritakan kesulitan besar yang dialami umat akibat kemarau panjang dan paceklik itu. Kemudian ia naik mimbar bersama Abbas seraya berdoa, "Ya Allah, kami menghadapkan diri kepada-Mu bersama dengan paman Nabi kami dan saudara kandung ayahnya, maka turunkanlah hujan-Mu dan janganlah kami sampai putus asa!"

Abbas lalu meneruskan, memulai doanya dengan puja dan puji kepada Allah SWT, "Ya Allah, Engkau yang mempunyai awan dan Engkau pula yang mempunyai air. Sebarkanlah awan-Mu dan turunkanlah air-Mu kepada kami. Hidupkanlah semua tumbuh-tumbuhan dan suburkanlah semua air susu. Ya Allah, Engkau tidak mungkin menurunkan bencana kecuali karena dosa dan Engkau tidak akan mengangkat bencana kecuali karena tobat. Kini umat ini sudah menghadapkan dirinya kepada-Mu maka turunkanlah hujan kepada kami..."

Ternyata doanya itu langsung diterima dan diijabah Allah SWT. Hujan lebat turun dan tumbuh-tumbuhan tumbuh dengan suburnya. Orang-orang bersyukur kepada Allah dan mengucapkan selamat kepada Abbas, "Selamat kepadamu, wahai Saqil Haramain, yang mengurusi minuman orang di Makkah dan Madinah."

Abbas bin Abdul Muththalib, paman Rasululah SAW dan saudara kandung ayahnya, termasuk salah seorang tokoh sahabat yang ikut mengibarkan panji Islam. Sepak terjangnya dicatat sejarah dengan tinta emas dalam Baiat Aqabah Kubra. Ia bertindak sebagai seorang penasihat dan juru runding, menyertai keponakannya dalam majelis itu.

Abbas ra wafat pada hari Jumat, 12 Rajab 32 H, dalam usia 82 tahun. Ia dikebumikan di Baqi', Madinah.

0 komentar:

Posting Komentar